I love kediri



Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.



Kumpulan Sejarah


Berdirinya Kerajaan Kediri


Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.






Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.






Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.






Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernamaMapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.






Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.






Perkembangan Kerajaan Kediri


Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.






Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.





Kumpulan Sejarah


Perkembangan politik kerajaan kediri


Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi olehSri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.






Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.






Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.






Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.






SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN KEDIRI

Kumpulan Sejarah


Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah:


Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu


Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.






Kameshwara


Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.






Jayabaya


Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.





Kumpulan Sejarah


Prabu Sarwaswera


Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.






Prabu Kroncharyadipa


Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).






Srengga Kertajaya


Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.






Pemerintahan Kertajaya


Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.











Kehidupan sosial masyarakat kerajaan kediri


Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.






Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.






Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.






Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.


1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.


2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).


3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.






Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.






Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri


Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.






Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri


Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:


a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala


b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.






Prasasti Jepun 1144 M






Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.






Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.






Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswarabernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.






Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.





Kumpulan Sejarah


Runtuhnya Kediri


Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.






Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.


Kumpulan Sejarah

Makanan khas kediri

1.sate bekicot


Bekicot sering dikenal sebagai binatang hemaprodit yang hidup menempel didaun tetapi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, bekicot menjadi makanan khas kuliner kediri, dengan berbagai olahan antara lain sate, kripik dan krengsengan bekicot yang digemari masyarakat sekitar. Selain rasanya yang lezat, daging bekicot memiliki khasiat yang luar biasa untuk obat penyakit asma dan gatal - gatal.


Depot kuliner Mbak Sri yang sekarang berlokasi di depan Kantor Kecamatan Plosoklaten sekitar 10 KM dari arah timur Simpang Lima Gumul ( SLG ), tepatnya dijalan Raya Pare – Wates yang merupakan jalur utama Surabaya menuju Wisata Gunung Kelud merupakan tempat usaha yang menyajikan berbagai olahan dari bekicot yang sulit dijumpai dikota lain.


Usaha Sate, Kripik dan krengsengan Bekicot ini mulai digeluti oleh Mbak Sri yang nama lengkapnya Hj.Murti Sri Sayekti (51 th) sejak tahun 1980 dengan modal awal Rp. 500.000,- pertama kali berlokasi di depan PTPN Jengkol, yang tempatnya relatif sempit, dan disepanjang jalan tersebut memang merupakan lokasi penjualan berbagai jenis makanan olahan dari bekicot.



Depot Kuliner Mbak Sri mempunyai karyawan sebanyak 10 orang, dengan bidang kerjanya meliputi, Juru masak, Pengemasan, Pelayan, Penjual serta Kasir dan Tenaga Kasar / bagian bersih-bersih. Pekerja di Depot Mbak Sri ini sebagian besar Ibu rumah tangga, dari desa sekitar maupun dari desa luar kecamatan. Pekerja digaji dengan sistim per hari sebesar Rp. 15.000,-, tentu saja ini merupakan tambahan penghasilan yang cukup lumayan bagi pekerjaan sampingan ibu-ibu rumah tangga guna membantu tambahan pendapatan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Pada hari-hari biasa Senin sampai dengan Jum’at sate bekicot mbak Sri bisa laku antara 2500 – 3000 tusuk, sedangkan pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur bisa menghabiskan 5000 – 7000 tusuk sate, sedangkan harga untuk setiap 10 tusuk sate adalah Rp. 4.000,- Sedangkan harga kripik bekicot per 1 kilogram Rp. 180.000,- dan dikemas per ons, kripik bekicot ini rata-rata setiap hari laku sekitar 2 Kg, harga krengsengan bekicot per bungkus Rp. 7.000,-

2.pecel tumpang kediri


Jika anda berjalan-jalan ke Kota Kediri pada malam hari, belum lengkap jika tidak berkunjung di Jalan Dhoho. Jalan Dhoho ini layaknya Jalan Marlboro di Yogyakarta, namun versi Kediri. Berbagai pertokoan berjajar sepanjang Jalan Dhoho. Ada toko pakaian, aneka kerajinan dan swalayan. Tidak lupa berbagai makanan khas Kediri juga terpampang sepanjang jalan ini.





Termasuk di antaranya adalah pecel tumpang. Nah, setelah anda puas berbelanja, anda bisa istirahat santai di pinggir Jalan Dhoho sembari memesan nasi pecel tumpang pincuk. Sembari makan pecel tumpang kita bisa menikmati lalu lalang kendaraan yang berjalan lambat di sepanjang Jalan Dhoho.

Pecel tumpang Jalan Dhoho biasanya mulai digelar pukul 15.00 WIB hingga tengah malam. Jangan anggap bahwa pecel tumpang di sini disajikan di dalam ruangan lengkap dengan tempat duduk seperti apa yang kita bayangkan. Pembeli hanya disediakan tikar plastik atau karpet dan bebas memilih tempat duduk lesehan. Boleh di depan pertokoan yang tutup, trotoar maupun di manapun di sepanjang Jalan Dhoho, asal tidak di tengah jalan.





Para penjual pecel tumpang pun tidak memiliki bedak. Mereka menggelar dagangannya di depan pertokoan dengan bermodalkan pikulan dan tempat seadanya. Walaupun tempat pedagang antara satu dengan lainnya saling berdekatan, namun mereka sama sama laku dan memiliki penggemar fanatik. Para penikmat pecel tumpang fanatik itu seringkali datang hanya untuk bersantai dan menikmati makanan khas Kediri ini.





Menu yang disajikan pun beragam, sesuai dengan selera pembeli. Ada yang suka dengan nasi pecel, nasi tumpang maupun nasi campur (campuran antara tumpang dan pecel). Cara penyajian sambal tumpang tak jauh beda dengan cara penyajian sambal pecel, yaitu dengan nasi yang di atasnya di beri aneka lalapan atau sayur – mayur yang telah direbus terlebih dahulu lalu disiram dengan sambal tumpang dan diberi peyek sebagai pelengkap, bisa peyek kacang atau peyek teri. Pecel tumpang ini disajikan disajikan di atas pincuk yang terbuat dari daun pisang. Anda bisa menggunakan sendok yang disediakan atau muluk pakai tangan. Jika anda muluk anda tinggal minta kobokan untuk cuci tangan.

Tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk menikmati makanannya hanya mengeluarkan Rp. 5000,- anda sudah mendapatkan satu pincuk pecel tumpang, 1 gelas teh anget ato es teh dan sisanya bisa buat parkir. tidak mahal bukan?





Sambal tumpang terbuat dari tempe yang telah busuk (bosok). Tempe yang sudah membusuk ini dimasak di campur dengan aneka bumbu seperti lombok atau cabe, bawang, garam dan bumbu dapur lainnya. Sambal tumpang memang terbuat dari tempe bosok, namun jangan keburu jijik cobalah dulu rasanya jika telah matang, pasti akan membuat anda ketagihan. Saya sudah mulai ketagihan nich.


3.tahu pong





selain dikenal sebagai penghasil rokok terbesar di Indonesia, Kota Kediri juga dikenal sebagai Kota Tahu. Sebutan kota tahu untuk Kota Kediri tak lepas dari sejarah masuknya warga Cina ke Indonesia pada tahun 1900 silam.




Dari ribuan orang yang datang ke Indonesia, beberapa diantaranya ke Kediri. Saat itu belum terjadi pemisahan kota dan kabupaten.




Dari beberapa orang yang ke Kediri, 3 diantaranya dikenal sebagai pelopor pembuatan tahu, yaitu Liem Ga Moy, Bah Kacung dan Kaou Loung. Hingga saat ini penerus dari 3 orang tersebut masih mempertahankan usaha yang dirintis leluhurnya, kecuali Kaou Loung.




"Di Jalan Patimura dulu masih ada, tapi sekarang sudah gak buka. Gak tahu kenapa, yang jelas sekarang dari generasi pertama yang masih bertahan hanya anak turun ayah saya dan Bah Kacung," kata Liem Djang Yen, salah seorang anak lelaki Liem Ga Moy kepada detiksurabaya.com, yang menemuinya di lokasi produksi, Jalan Yos Sudarso, Kediri, Selasa (30/11/2010).




Liem Djang Yen yang memiliki nama Indonesia Bambang Suyendro mengungkapkan keputusan ayahnya membuat tahu di Kediri tak lepas dari penilaian air di lokasi rantau memiliki kesamaan dengan di Cina. Dalam proses pembuatannya, tahu yang diklaim sebagai makanan khas bangsa Cina dan bernama tofu itu diyakini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Jenis air dianggap sangat berpengaruh terhadap hasil akhir.




"Ayah saya mulai membuat tahu ini pada tahun 1948 di Pesantren (Kecamatan Pesantren), setelah hampir 20 tahun bermukim di Tawang, Wates. Kisaran tahun 1950 usaha ayah saya semakin maju, tapi tetap belum bermerek," ungkap Liem menjelaskan.




Kualitas yang terjaga tetap apik menjadikan tahu produksi Liem Ga Moy, semakin dikenal, begitu juga dengan Bah Kacung dan Kaou Loung. Kondisi ini menjadikan karya mereka semakin dikenal dan turut mengangkat nama Kota Kediri hingga berujung pada disematkannya sebutan Kota Tahu.




"Saya katakan tadi, bangsa Cina yang masuk ke Indonesia, hanya di Kediri yang membuat tahu. Kalau terus sekarang Sumedang menyebut dirinya kota tahu, itu pengembangan dari sini," tutur Liem.




Hingga saat ini sedikitnya 20 merek tahu kuning ada di Kota Kediri, yang keseluruhannya dikelola dan dijalankan oleh WNI keturunan Cina. Mereka mengaku merupakan anak keturunan 3 tokoh pencetus industri tahu di Kota Kediri.










SUMBER :KLIK DISINI

0 komentar:

Posting Komentar

dan's blog

http://danielsoekamti.blogspot.com/

Copyright © / dan's blog

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger